Isnin, 22 Februari 2010

~Riwayat Hidup Saidina Hussein A.S~












Sabda Rasulullah SAW: "Wahai puteraku al-Husein, dagingmu adalah dagingku, dan darahmu adalah darahku, engkau adalah seorang pemimpin putera seorang pemimpin dan saudara dari seorang pemimpin, engkau adalah seorang pemimpin spiritual, putera seorang pemimpin spiritual dan saudara dari pemimpin spiritual. Engkau adalah Imam yang berasal dari Rasul, putera Imam yang berasal dari Rasul dan Saudara dari Imam yang berasal dari Rasul, engkau adalah ayah dari semua Imam".



Di tengah kebahagiaan dan kerukunan keluarga Fatimah Az-Zahra r.a. lahirlah seorang bayi yang akan memperjuangkan kelanjutan misi Rasulullah SAW. Bayi itu tidak lain adalah Saidina Husein bin Ali bin Abi Thalib r.a., yang dilahirkan pada suatu malam di bulan Syaa'ban.



Rasulullah SAW bertanya pada Imam Ali bin Abi Thalib k.w.j.: "Engkau berikan namanya apa kepada anakku ini?" "Saya tidak berani mendahuluimu, wahai Rasulullah," jawab Ali. Akhirnya Rasulullah SAW mendapat wahyu agar menamainya 'Husein'. Kemudian di hari ketujuh, Rasulullah SAW bergegas ke rumah Fatimah Az-Zahra dan menyembelih domba sebagai aqiqahnya. Lalu dicukurnya rambut Husein dan Rasulullah SAW bersedekah dengan perak seberat rambutnya yang kemudian mengkhatannya sebagaimana upacara yang dilakukan untuk Saidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a.



Sebagaimana Saidina Hasan, Saidina Husein juga mendapat didikan langsung dari Rasulullah SAW. Dan setelah Rasulullah wafat, beliau dididik oleh ayahnya. Hingga akhirnya Saidina Ali terbunuh dan Saidina Hasan yang menjadi pemimpin ketika itu. Namun Saidina Hasan pun syahid dalam mempertahankan Islam dan kini Saidina Husein yang menjadi Imam atas perintah Allah dan RasulNya serta wasiat dari saudaranya. Saidina Husein hidup dalam kedudukan yang paling sulit. Itu semua merupakan akibat adanya penekanan dan penganiayaan serta banyaknya kejahatan dan kedurjanaan yang dilakukan Muawiyah. Bahkan yang lebih teruk lagi, Muawiyah menyerahkan kekhalifahan kaum muslimin kepada anaknya Yazid laknatullah, yang terkenal sebagai pemabuk, penzina, yang tidak pernah mendapat pendidikan Islam, serta seorang pemimpin yang setiap harinya hanya bermain dan berteman dengan kera-kera kesayangannya.



Hukum-hukum Allah tidak dijalankan, sunnah-sunnah Rasulullah SAW ditinggalkan dan Islam yang tersebar bukan lagi Islamnya Muhammad SAW, melainkan Islamnya Muawiyah serta Yazid yang lebih dikenali dengan kerosakan dan kedurjanaan. Saidina Husein merupakan tokoh yang paling ditakuti oleh Yazid. Hampir setiap kerosakan yang dilakukannya ditentang oleh Saidina Husein dan beliau merupakan seorang tokoh yang menolak untuk berbaiat kepadanya. Kemudian Yazid segera menulis surat kepada gabenornya al-Walid bin Utbah, dan memerintahkannya agar meminta baiat dari penduduk Madinah secara umum dan dari Saidina Husein secara khusus dengan apa cara sekalipun.



Melihat itu semua, akhirnya Saidina Husein meninggalkan Madinah. Namun sebelum meninggalkan Madinah, beliau terlebih dahulu berjalan menuju maqam datuknya Rasulullah SAW, serta solat di situ dan berdoa: "Ya Allah ini adalah kubur nabi-Mu dan aku adalah anak dari puteri nabi-Mu ini. Kini telah datang kepadaku persoalan yang sudah aku ketahui sebelumnya. Ya Allah! Sesungguhnya aku menyukai yang maaruf dan mengingkari yang mungkar, dan aku memohon kepada-Mu, wahai Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mulia, melalui haq orang yang ada dalam maqam ini, agar jangan Engkau pilihkan sesuatu untukku, kecuali yang Engkau dan Rasul-Mu meridhainya". Setelah menyerahkan segala urusannya kepada Allah, beliau segera mengumpulkan seluruh Ahlul-Bait dan pengikut-pengikutnya yang setia, lalu menjelaskan tujuan perjalanan beliau, yakni ke Mekah.




Mungkin kita bertanya-tanya, apa sebenarnya motivasi gerakan revolusi yang dilakukan Saidina Husein hingga beliau harus keluar dari Madinah. Saidina Husein sendiri yang menjelaskan alasannya kepada Muhammad bin Hanafiah dalam surat yang ditulisnya: "Sesungguhnya aku melakukan perlawanan bukan dengan maksud berbuat jahat, sewenang-wenang, melakukan kerosakan atau kezaliman. Tetapi semuanya ini aku lakukan semata-mata demi kemaslahatan umat datukku, Muhammad SAW. Aku bermaksud melaksanakan amar maa’ruf nahi mungkar, dan mengikuti jalan yang telah dirintis oleh datukku dan juga ayahku, Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah barangsiapa yang menerimaku dengan haq, maka Allah lebih berhak atas yang haq. Dan barang siapa yang menentang apa yang telah kuputuskan ini, maka aku akan tetap bersabar hingga Allah memutuskan antara aku dengan mereka tentang yang haq dan Dia adalah sebaik-baik pemberi keputusan."



Setelah melakukan perjalanan yang jauh, akhirnya rombongan Saidina Husein tiba di kota Mekah, yaitu suatu kota yang dilindungi Allah SWT yang dalam Islam merupakan tempat yang di dalamnya perlindungan dan keamanan dijamin. Peristiwa ini terjadi di akhir bulan Rejab 60 Hijrah.



Selama empat bulan di Mekah, Saidina Husein banyak berdakwah dan membangkitkan semangat Islam dari penduduk Mekah. Dan ketika tiba musim haji, beliau segera melaksanakan ibadah haji dan berkhutbah di depan khalayak ramai dengan khutbah singkat yang mengatakan bahawa beliau akan ke lraq menuju kota Kufah.



Selain kerana keselamatan Saidina Husein sudah terancam, ribuan surat yang datangnya dari penduduk kota Kufah juga menjadi pendorong keberangkatan Saidina Husein ke kota itu. Dan sehari setelah khutbahnya itu, Saidina Husein berangkat bersama keluarga dan para pengikutnya yang setia, memenuhi panggilan tersebut.



Ketika dalam perjalanan, ternyata keadaan kota Kufah telah berubah. Yazid mengirimkan lbnu Ziyad bagi menyiasat keadaan. Wakil Saidina Husein (Muslim bin Aqil), diseret dan dipenggal kepalanya. Orang-orang yang setia kepada Saidina Husein segera dibunuhnya. Penduduk Kufah pun berubah menjadi ketakutan, laksana tikus yang melihat kucing.



Sekitar tujuh puluh kilometer dari Kufah di suatu tempat yang bernama 'Karbala', Saidina Husein beserta rombongan yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang; 40 (empat puluh) laki-laki dan selebihnya kaum wanita; dan itu pun terdiri dari keluarga Bani Hasyim, baik anak-anak, saudara, sepupu dan saudara sepupu, telah dikepung oleh pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30 (tiga puluh) ribu orang.



Musuh yang tidak berperikemanusiaan itu melarang Saidina Husein dan rombongannya untuk meminum dari sungai Eufrat. Padahal, anjing, babi dan binatang lainnya dibenarkan berendam di sungai itu sepuas-puasnya, sementara keluarga suci Rasulullah SAW dilarang mengambil air walaupun seteguk.



Penderitaan demi penderitaan, jeritan demi jeritan, pekikan suci dari anak-anak yang tak berdosa menambah sedihnya peristiwa itu. Saidina Husein yang digambarkan oleh Rasul sebagai pemuda penghulu syurga, yang digambarkan sebagai Imam di saat duduk dan berdiri, harus menerima perbuatan keji dari manusia yang tidak mengenang budi.



Pada tanggal 10 (sepuluh) Muharram 61 Hijrah (680 Masehi), pasukan Saidina Husein yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang telah berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30,000 (tiga puluh ribu) orang. Seorang demi seorang dari pengikut al-Husein mati terbunuh. Tak luput keluarganya juga mati dibunuh. Tubuh mereka dipisah-pisahkan dan dipijak-pijak dengan kuda. Hingga ketika tidak ada seorangpun yang akan membelanya beliau mengangkat anaknya yang bernama Ali al-Asghar, seorang bayi yang masih menyusu sambil menanyakan apa dosa bayi itu hingga harus dibiarkan kehausan. Belum lagi terjawab pertanyaannya sebuah panah telah menancap di dada bayi tersebut dan ketika itu pula bayi yang masih kecil itu harus mengakhiri riwayatnya dalam dakapan ayahnya, Al-Husein r.a.



Kini tinggallah Al-Husein seorang diri, membela misi suci seorang nabi, demi perintah Allah apapun boleh terjadi, asal agama Allah boleh tegak berdiri, badan pun boleh mati. Perjuangan Al-Husein telah mencapai puncaknya, tubuhnya yang suci telah dilumuri darah, rasa haus pun telah mencekiknya. Tubuh yang pernah dikucup dan digendong Rasulullah SAW kini telah rebah di atas padang Karbala. Lalu datanglah Syimr, menaiki dada al-Husein lalu memisahkah kepala beliau serta melepas anggota tubuhnya satu demi satu.



Setelah kepergian Saidina Husein ke rahmatullah, pasukan musuh merampas barang-barang milik beliau dan pengikutnya yang telah tiada. Kebiadaban mereka tidak cukup sampai di sini, mereka lalu menyerang khemah wanita dan membakarnya serta mempermalukan wanita keluarga Rasulullah SAW. Rombongan yang hanya terdiri dan kaum wanita itu, kemudian dijadikan sebagai tawanan perang yang dipertontonkan dan satu kota ke kota lain.



Rasulullah SAW yang mendirikan negara Islam dan membebaskan mereka dari kebodohan. Namun keluarga Umayyah yang tidak tahu membalas budi telah memperlakukan keluarga Rasulullah sedemikian rupa. Beginikah cara umatmu membalas kebaikanmu wahai Rasulullah? Benarlah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: "Wahai Asma! Dia (al-Husein) kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka."



Pembicaraan tentang Saidina Husein adalah pembicaraan yang dipenuhi dengan emosi dan pengorbanan. Semoga Allah SWT melaknat mereka yang terlibat dalam pembunuhan Saidina Husein dan keluarganya di dunia dan akhirat.



Dan semoga Allah SWT memasukkan Saidina Husein serta pengikut-pengikutnya yang setia ke dalam golongan orang-orang yang soleh yang diredhaiNya.

Wallahua'lam.




==========





PERISTIWA SYAHIDNYA SAIDINA HUSSEIN R.A DI KARBALA




Tragedi gugurnya al-Hussein r.a secara mengerikan itu mendorong tokoh-tokoh riwayat dan para penulis sejarah Islam untuk mengadakan penyelidikan. Hasil dari penyelidikan dan pengamatan yang mereka lakukan setelah terjadinya peristiwa itu, mereka tuangkan dalam tulisan-tulisan berupa riwayat menceritakan berbagai akibat setelah terjadinya pemenggalan kepala cucu Rasulullah SAW.



Seorang penulis Islam kenamaan, Ibnu Hajar, dalam bukunya berjudul "Ash-Shawa'iqul-Kuhriqah" halaman 116, mengungkapkan bahawa sepeninggalan al-Hussein r.a. ternyata tak ada seorang pun yang terlibat dalam pembunuhan itu, yang terhindar dari seksa dunia setimpal dengan perbuatannya. Ada yang mati terbunuh, ada yang buta dan ada pula yang secara tiba-tiba mukanya berubah warna menjadi hitam lebam. Semuanya itu terjadi dalam waktu tak seberapa lama sejak al-Hussein r.a. wafat.



Dalam bukunya yang berjudul "Tahdizibut-Tahdzib" Jilid II halaman 335, Ibnu Hajar juga mengetengahkan kisah an-Numairiy yang berasal dari 'Ubaid bin Jinadah. Kisah tersebut mengungkapkan peristiwa yang dialami seorang tua yang pernah melibatkan diri dalam pembunuhan terhadap al-Hussein r.a. Orang tua itu membusungkan dadanya hanya kerana merasa terlibat langsung dalam pembunuhan terhadap al-Husein. Dengan bangga ia mengatakan: "Lihatlah, aku tetap selamat... tak ada bencana apapun yang menimpa diriku!"



Tak lama setelah ia mengucapkan perkatan tersebut, lampu minyak berada tidak jauh dari tempat duduknya tiba-tiba memudar. Dikiranya sumbu lampu itu hampir habis. Ia segera bangkit dari tempat duduknya mendekati lampu untuk berusaha memperbaiki sumbunya. Pada saat ia sedang menarik sumbu, api yang semulanya tampak hampir padam tiba-tiba membesar kembali dan membakar jari-jarinya. ia berusaha keras memadamkan api yang menyala di tangannya, tetapi tidak berhasil, bahkan api menjalar ke bagian-bagian tangannya yang berlumuran minyak. Dalam keadaan panik ia mencuba memadamkan api dengan memasukkan tangan ke dalam mulut, tetapi malang... api bukan menjadi padam malah menyambar janggutnya yang telah memutih tetapi masih cukup lebat.



Mukanya terbakar dan ia melolong-lolong kesakitan. Akhirnya api membakar pakaian yang sedang dikenakannya sehingga seluruh tubuhnya turut terbakar. Bagaikan sebuah obor besar ia lari kebirit-birit keluar dari rumah menerjunkan diri ke dalam Sungai al-Furat yang tidak seberapa jauh letaknya. Beberapa saat lamanya ia tidak muncul di atas permukaan air. Banyak orang menunggu-nunggu di tepi sungai ingin menyaksikan apa yang sedang terjadi pada diri orang tua itu. Ketika ia muncul di permukaan air, ternyata telah mati dan tubuhnya hangus seperti gumpalan arang! Kebenaran kisah tersebut diperkuat oleh sejarawan Muslim terkenal, at-Thabariy, dalam bukunya yang berjudul "Dzakha'irul-'Uqba" halaman 145.



Dalam buku yang sama, Ibnu Hajar juga mengemukakan sebuah riwayat tentang pembunuh al-Hussein r.a. Peristiwanya terjadi ketika si pembunuh itu menyerahkan kepala cucu Rasulullah SAW kepada 'Ubaidillah bin Ziyad, penguasa daerah Kufah. Kerana besar harapan akan memperoleh ganjaran istimewa, si pembunuh itu menyerahkan kepala al-Hussein r.a. sambil bersyair: "Akan kupenuhi kantongku dengan emas dan perak. Sebagai ganjaran membunuh raja tanpa mahkota. Seorang yang pernah sembahyang pada dua kiblat. Berasal dari keturunan manusia termulia. Akulah pembunuh orang terbaik, ayah bondanya..."



Akan tetapi ketika Ibnu Ziyad mendengar bait terakhir dari syair itu, dengan marah ia menukas: "Kalau engkau mengetahui kemuliaannya itu, mengapa ia kau bunuh? Tidak, demi Allah, engkau tidak akan mendapat ganjaran baik dari aku. Malah engkau kuikut-sertakan bersama dia!" Habis mengucap kalimat-kalimat tersebut, Ibnu Ziyad langsung memerintahkan salah seorang pengawal untuk membunuh orang yang baru saja mendendangkan syair dengan harapan akan menerima ganjaran besar.



Ada baiknya juga jika kami kemukakan juga riwayat lain lagi, yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam buku yang sama halaman 119. Peristiwanya terjadi ketika 'Umar bin Sa'ad bersama pasukannya membawa kepala al-Hussein r.a., Ibnu Hajar menulis sebagai berikut: "Setiap berhenti di suatu tempat untuk beristirehat, para pengawal kepala al-Husein r.a. selalu menancapkan kepala itu pada hujung tombak. Seorang pendeta Nasrani yang bertempat tinggal di sebuah biara yang dilewati rombongan, terkejut melihat sebuah kepala manusia tertancap pada hujung tombak, ia lalu bertanya ingin mengetahui siapakah orang yang dipenggal kepalanya itu. Ketika mendapat jawapan bahawa kepala itu adalah kepala al -Hussein r.a. putera Siti Fatimah binti Rasulullah SAW, dengan marah ia menyahut: "Alangkah buruk perbuatan kalian!" Saat itu juga ia minta agar kepala al-Hussein r.a. boleh disemayamkan semalam di dalam biaranya. "Untuk itu aku sedia membayar 10,000 dinar!", katanya lebih lanjut. Tentu saja permintaan pendeta itu diterima baik oleh Sa'ad dan rombongannya.



Kepala al-Hussein r.a. segera dibawa masuk oleh pendeta itu ke dalam biara, kemudian dicuci bersih-bersih dan diberi wewangian secukupnya. Semalam suntuk kepala itu dipangkunya sambil menangis hingga pagi hari. Keesokan harinya pendeta itu langsung menyatakan diri masuk Islam, kerana pada malam harinya ia menyaksikan cahaya terang memancar ke langit dari kepala al-Hussein r.a. Setelah memeluk Islam, ia meninggalkan biaranya dan hingga akhir hidupnya ia merelakan diri bekerja sebagai pembantu Ahlul-Bait...
Demikianlah menurut Ibnu Hajar. Dengan sekelumit riwayat yang kami kutip dari penulis Islam terkenal itu, terbuktilah bahawa tindakan pembunuhan sewenang-wenang terhadap cucu Rasulullah SAW mendorong semangat para penulis sejarah untuk mengungkapkan lebih jauh peristiwa yang menyedihkan itu.



(Petikan: 'Al Husain bin Ali r.a.: Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya' oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini, hlm 373.)





1 ulasan:

  1. Versi pembunuhan husain ini adalah daripada Syiah

    BalasPadam

Terima kasih kerana sudi bertukar fikiran dan memberi pendapat.